Friday, June 12, 2020

Homili 12 Juni 2020

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-X
1Raj. 19:9a,11-16
Mzm. 27:7-8a,8b-9abc,13-14
Mat. 5:27-32

Menemukan Tuhan dalam keheningan

Setiap panggilan hidup itu unik dan bermakna bagi orang yang menghayatinya. Saya mengingat seorang sahabat membagikan pengalamannya. Ia mengaku pernah tergila-gila dengan ‘jubah putih’ yang dikenakan para imam, biarawan dan biarawati. Dia lalu mengambil keputusan untuk masuk biara. Ketika pertama kali mengenakan jubah putih di novisiat, dia begitu senang dan bangga. Keluarganya pun merasa bangga dan membuat sebuah pesta syukuran yang besar di rumah tanpa kehadirannya. Boleh dikatakan bahwa cita-citanya untuk mengenakan jubah putih sudah berhasil, pengambilan gambar pun terjadi kapan saja untuk memenuhi diding media sosial. Simbol berupa jempol, hati dan aneka komentar diberikan kepadanya. Sayang sekali karena cita-citanya hanya untuk mengenakan jubah putih. Ketika ia melakukan kesalahan dan ditegur juga dikoreksi oleh pimpinannya, dia langsung meminta untuk mengundurkan dirinya dari komunitas tarekat itu. Ketika memulai hidup baru di luar komunitas, ia mengatakan rasa syukurnya kepada Tuhan karena ternyata tempat baru adalah yang paling cocok baginya. 

Kita menemukan sesama dengan pengalaman-pengalaman unik seperti ini. Saya merasa yakin bahwa ada suami dan istri juga yang pernah memiliki motivasi yang keliru untuk mendapatkan pasangan hidup yang sekarang ini. Kalau saja motivasi ini tidak dimurnikan  dengan baik maka dampaknya adalah bisa saja terjadi perzinahan dan perceraian sebagaimana kita baca dalam Injil hari ini. Perzinahan dan perceraian adalah dua bahaya dalam hidup suami dan istri di setiap keluarga sepanjang zaman. Hanya pribadi-pribadi tertentu yang setia terhadap pasangannya akan berusaha untuk menjauhkan diri dari perzinahan dan perceraian. Sebelum terjadi perzinahan dan perceraian, biasanya ada amarah dan dengki yang akan mendahaului semuanya ini. Pikiran yang muluk-muluk tentang hidup bersama sebagai suami dan istri seperti di iklankan di media komunikasi ternyata berada di luar jangkauan. Cinta sebagai suami dan istri itu sebuah perjuangan yang berlangsung sepanjang hidup bersama. Suami dan istri berjuang untuk tetap cocok, tetap awet dan setia selamanya.

Hari ini kita mendengar kisah pengalaman akan Allah di dalam diri nabi Elia. Kitab pertama Raja-raja memberi kesaksian bahwa pada saat itu nabi Elia sedang berada di Gunung Horeb atau Gunung Allah. Tuhan memintanya untuk keluar dari kenyamanannya supaya berdiri di atas gunung di hadapan Tuhan sendiri. Selanjutnya Tuhan akan berjalan, lewat di depan Elia disertai tanda-tanda yang diberikan kepadanya. Tanda pertama adalah angin besar dan kuat yang mampu membelah gunung dan memecahkan bukit-bukit batu mendahului Tuhan. Ternyata Tuhan tidak berada di dalam angin. Tanda kedua, adanya gempa bumi yang menakutkan namun ternyata Tuhan tidak ada di dalam gempa itu. Tanda ketiga, api. Tuhan sendiri tidak berada di dalam api. Tanda keempat, angin sepoi-sepoi basah. Di sinilah tuhan hadir dan lewat di hadapannya. Ini juga menjadi kesempatan bagi nabi Elia supaya keluar dari dalam gua untuk menyaksikan Tuhan yang sedang berjalan di depannya. Ia sadar diri dan menyelubungi wajahnya dengan jubahnya. 

Dari pengalaman nabi Elia ini, kita belajar bahwa Tuhan menghendaki  supaya kita melihat-Nya bukan dalam suasana gegap gempita, ibarat angin, gempa dan api. Tuhan justru menghendaki supaya semua orang tenang dan memiliki damai dalam bathinnya sebagaimana dialami oleh Elia sendiri. Tuhan bertanya kepada Elia tentang pekerjaan apa yang sedang dijalaninya. Elia dengan jujur mengatakan:  "Aku bekerja segiat-giatnya bagi Tuhan, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup, dan mereka ingin mencabut nyawaku. 

Panggilan Tuhan menjadi sempurna dalam perutusan. Di sini, Tuhan pada akhirnya memberi komando kepada Elia: "Pergilah, kembalilah ke jalanmu, melalui padang gurun ke Damsyik, dan setelah engkau sampai, engkau harus mengurapi Hazael menjadi raja atas Aram. Juga Yehu, cucu Nimsi, haruslah kauurapi menjadi raja atas Israel, dan Elisa bin Safat, dari Abel-Mehola, harus kauurapi menjadi nabi menggantikan engkau." Dalam kesulitan apapun, Tuhan tetap memberi perintah-Nya supaya dilakukan dengan setia oleh  nabi-Nya. Maka nabi Elia pun melanjutkan karya misionernya. Dia tidak jauh dari Tuhan. Dia setia melayani Tuhan sampai tuntas. 

Pada hari ini Tuhan menghendaki kita hidup dalam kedamaian dan keteduhan. Kita butuh sebuah keheningan bathin supaya lebih mengenal Tuhan dalam diri Yesus Kristus. Kita butuh ketenangan supaya dapat membaca Sabda Tuhan dan merenungkannya di dalam hidup kita. Kita juga patut menjaga kemurnian hidup sesuai panggilan hidup masing-masing. Para suami dan istri berjuanglah untuk hidup murni supaya menjauhi perzinahan dan perceraian. Dua musuh besar keluarga ini harus dilawan dengan kebaikan dan pemikiran positif. Mari kita menjaga keheningan dan kekudusan hidup.

PJ-SDB

2 comments: