Tuesday, June 9, 2020

Homili 9 Juni 2020


Hari Selasa, Pekan Biasa ke-X
1Raj. 17:7-16
Mzm. 4:2-3,4-5,7-8
Mat. 5:13-16

Berbagi dalam keterbatasan

Covid-19 membuat perilaku manusia berubah. Dunia tidak lagi dibagi dalam sekat-sekat dengan memandang suku, ras, agama, antar golongan dan bangsa. Dunia saat ini kelihatan menjadi satu karena semua orang memiliki satu musuh yang sama yang harus ditaklukan, namanya Virus Corona. Wujud nyata persekutuan di dunia saat ini ditandai dengan semangat saling berbagi masker, hand sanitizer, sembako, pakaian, dan kebutuhan lain yang penting bagi setiap pribadi. Orang tidak mengingat dan melihat perbedaan, tetapi melihat nilai hidup manusianya. Bahwa manusia adalah sesama maka layaklah ditolong. Ini sungguh hal yang sangat positif. Saya pernah melihat sebuah spanduk yang sangat inspiratif dengan tulisan: “Berbagi dalam keterbatasan”. Kata-katanya memang sederhana namun sangat mendalam dan mampu menggerakan hati nurani kita untuk siap menolong sesama.

Pada hari ini kita mendengar bacaan-bacaan Kitab Suci yang sangat inspiratif dan kontekstual. Dalam bacaan pertama, kita mendengar kelanjutan kisah nabi Elia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Dari namanya, Elia itu berarti manusia Allah atau pribadi milik Allah. Tuhan sudah menyuruhnya untuk bersembunyi di pinggiran sungai Kerit. Tuhan sendiri akan menyiapkan makanan dan minuman baginya, namun karena selama tiga tahun enam bulan negeri Israel mengalami kekeringan sehingga sungai Kerit pun mengering. Tuhan menyuruhnya untuk meninggalkan sungai Kerit menuju ke tempat yang baru yaitu di Sarfat, sebuah daerah di Sidon yang berada di luar komunitas Yahudi. Nabi Elia harus melewati padang gurun sejauh 160 Km. Sarfat sendiri berarti tempat pemurnian. Boleh dikatakan bahwa Sarfat menjadi tempat pemurnian  tugas kenabian nabi Yesaya. Nabi Elia sendiri mungkin tidak mengerti perintah Tuhan Allah ini tetapi dia harus mentaatinya. 

Nabi Elia lalu melakukan perjalanan jauh hingga tiba di Sarfat, daerah Sidon. Dia menjumpai seorang janda yang sedang mencari kayu api untuk menyiapkan makan bersama anaknya sebagai santapan terakhir kalinya, sebab tidak ada lagi persediaan makanan bagi mereka berdua. Elia dengan percaya diri meminta minum dan makan kepada si janda tanpa nama ini. Sebenarnya sangat sulut bagi seorang asing untuk meminta-minta, namun Elia tetap memintanya juga. Dia butuh makan dan minum. Namun janda ini jujur mengakui ketidakmampuannya. Dia hanya memiliki persediaan terakhir dan sebenarnya sulit baginya untuk berbagi dalam kekurangan dan kesulitan. Namun Elia kelihatan mendesaknya sehingga janda ini bersedia untuk berbagi dari kekurangan dan kesulitannya. Kata-kata Elia ini mengubah pikiran janda ini: "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. Sebab beginilah firman Tuhan, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberi hujan ke atas muka bumi." (1Raj 17:13-14). Janda ini mengikuti nasihat Elia dan perkataan Elia juga sungguh menjadi nyata. Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman Tuhan yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia.

Kisah dalam bacaan pertama ini mengingatkan kita pada beberapa hal yang menarik dan dapat menjadi pedoman bagi hidup kita. Pertama, pentingnya semangat ketaatan kepada kehendak Tuhan. Elia sudah berada di tempat persembunyian yang nyaman namun ia harus mentaati kehendak Tuhan. Ia bereksodus ke tempat baru yang jauhnya 160km, melewati tempat kering, sulit dan di daerah orang asing pula. Janda di Sarfaat menunjukkan semangat ketaatan yang luar biasa. Dia baru mengenal Elia, orang asing tetapi ia percaya dan mengikuti perkataannya. Kita butuh semangat ketaatan dalam segala hal. Butuh keberanian untuk membuka diri, berdialog dengan Tuhan dan sesama. Kedua, Semangat berbagi dalam kesulitan. Janda di Sarfat sebenarnya mengalami kesulitan untuk berbagi sebab dia sendiri berada dalam kesuitan, namun Tuhan membuka hatinya melalui Elia sehingga dia mau berbagi makanan dan minuman dengan Elia. Janda di Sarfat melayani Elia seorang asing dengan memberinya makan dan minum. Ini adalah bentuk pelayanan kerahiman jasmani yakni memberi makan dan minum serta tumpangan bagi orang asing. Kita harus berusaha untuk melakukan hal yang sama. Lihatlah janda orang Sarfat masih mau menerima Elia orang asing dalam hidupnya. Bagaimana dengan anda dan saya? Hanya orang yang mampu mengasihi dapat melakukan hal seperti ini. Ketiga, berani bersaksi. Elia bersaksi bahwa Tuhan ada dan Ia maharahim. Ia memperhatikan orang yang berdoa dan berharap kepada-Nya. Sikap ini juga menjadi milik kita. Butuh keberanian untuk bersaksi tentang kerahiman Allah bagi sesama manusia.

Bagaimana kita dapat bersaksi dengan benar?

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil memulai penjelasan tentang kedelapan Sabda Bahagia kepada orang banyak dan para murid-Nya. Dia mengatakan dengan tegas dua hal ini. Pertama, "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.” (Mat 5:13). Tuhan Yesus menggunakan contoh yang konkret. Pada saat itu orang banyak mengerti dengan baik manfaat garam, apalagi yang berasal dari laut mati yang berkadar garam tertinggi dan garam laut tengah. Garam dipakai untuk mengobati penyakit kulit, memberi rasa lezat kepada makanan dan mengawetkannya. Garam dapat berfungsi ketika dia merelakan dirinya hilang, melebur, merembes ke dalam makanan dan dari dalam makanan itu, ia memberi rasa terhadap makanan. Kita dapat menjadi sesama manusia yang terbaik kalau kita merendahkan diri, masuk ke dalam kehidupan sesama dan dari dalam kita mengubahnya untuk menjadi pribadi yang terbaik. Ini butuh kesaksian hidup dan menjadi panutan bagi sesama. Ini baru namanya garam bagi sesama.

Kedua, Tuhan Yesus berkata: “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.” (Mat 5:14). Terang berfungsi kalau ada gelap. Adanya terang menunjukkan bahwa ada manusia yang hidup dan menempati tempat itu. Terang itu sifatnya mempersatukan setiap pribadi. Kita dapat berkumpul bersama orang lain kalau ada suasana terang. Kita semua mengikuti Yesus sebagai Terang dunia. Perhatikan perkataan ini: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Mat 5:16). Baik garam maupun terang mengungkapkan satu hal yang sama yaitu kesaksian hidup yang baik dan benar kepada sesama manusia.

Hidup kita bermakna ketika kita menjadi garam dan terang dalam hidup setiap hari. Menjadi garam dan terang nyata dalam perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan di mana-mana supaya nama Tuhan semakin dimuliakan dan kita semakin teguh untuk melayani-Nya sampai tuntas. Kita berani untuk kehilangan diri, perasaan malu karena diremehkan dan dianiaya karena kasih kepada Kristus. Kita berusaha untuk berani berbagi dalam kesulitan. Banyak kali kita takut melarat sehingga sulit untuk berbagi. Berbagilah dalam kesulitan dan anda akan bahagia selalu dalam seluruh hidupmu.

Saya mengakhiri homili dengan mengutip perkataan Santu Efrem yang hari ini kita rayakan pestanya: “Melalui engkau, Bunda Terkudus, semua kemuliaan, kehormatan, dan janji suci bagi umat manusia dari Adam sampai akhir abad telah diberikan, sedang diberikan, dan akan diberikan kepada para rasul, para nabi, para martir, dan semua hati yang adil dan sederhana.” St. Efrem, doakanlah kami. Amen.

PJ-SDB

1 comment:

  1. St Efrem doakanlah kami..
    Pater mlm bae, terimakasih utk renungan hari ini... Gbu pater...

    ReplyDelete