Thursday, June 18, 2020

Homili 18 Juni 2020

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XI
Sir. 48:1-14
Mzm. 97:1-2,3-4,5-6,7
Mat. 6:7-15

Bapa sudah tahu semuanya!

Orang tua itu hebat dan memang sungguh hebat. Mereka tidak pernah kuliah jurusan parentologi di Perguruan Tinggi. Mereka hanya belajar dari pengalaman hidup, yang kadang masih kelihatan masih minim. Namun dari pengalaman yang minim itu mereka berusaha untuk menjadi super maksimal. Bagi mereka yang sudah menjadi orang tua pasti mengalaminya sendiri ketika mulai hidup bersama sebagai suami dan istri di dalam satu keluarga. Masing-masing pribadi belajar untuk beradaptasi satu sama lain bahkan ada yang beradaptasi sepanjang hidupnya. Ketika pasangan suami dan istri sudah memiliki anak pertama, mereka belajar merawat dan membesarkan mulai dari dalam kandungan hingga kelahiran dan pertumbuhan. Pelajaran yang diperoleh melalui pengalaman ini lalu menjadikan orang tua menjadi profesor atau ahli dalam mendidik anak. Mereka mengenal secara mendalam kehidupan anaknya. Itu sebabnya ketika anaknya memiliki masalah tertentu, dengan hanya mengobservasi anaknya yang menangis kalau masih bayi atau melihat sosok mata, kerutan dahi dan cara berjalannya saja orang tua sudah bisa mengetahui masalah yang sedang dihadapi anaknya. Itulah kehebatan orang tua. Mereka belajar dari pengalaman, belajar dari hidup yang nyata. Tuhan memang sungguh baik bisa memberi kepada kita orang tua-orang tua yang hebat.

Tuhan Bapa di surga mengetahui hidup kita. Dalam Kitab Mazmur kita membaca: “Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh.” (Mzm 139:2). Tuhan menciptakan kita maka Dia mengetahui seluk beluk kehidupan kita. Ketika kita berdiri bahkan pikiran kita juga Dia mengetahuinya. Nabi Yeremia memiliki pengalaman peribadi ketika Tuhan berkata kepadanya: "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim  ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." (Yer 1:5). Maka ketika kita merenungkan  hidup kita di hadapan Tuhan, kita perlu sadar diri bahwa Dia sungguh menciptakan, mengenal dan menguduskan kita bagi diri-Nya. 

Nabi Elia dan nabi Elisa membuktikan itu dalam kesaksian hidup mereka ketika melakukan tugas kenabiannya. Tuhan sudah mengetahui hidup mereka maka Ia memanggil dan menjadikan mereka sebagai nabi-Nya. Selama sepuluh hari terakhir ini kita mendengar kisa-kisah hidup yang menarik dari nabi Elia dan Elisa dan ringkasannya kita temukan dalam Kitab Putra Sirakh. Kitab ini mencatat keunggulan-keunggulan Allah di dalam diri nabi Elia dan Elisa. 

Nabi Elia itu bagaikan api, sabdanya membakar laksana obor. Maka ia dipuji sepanjang masa: “Betapa mulialah engkau, hai Elia, dengan segala mujizatmu, dan siapa boleh bermegah-megah bahwa ia sama dengan dikau?” (Sir 48:4). Elia dalam nama Tuhan mengunci langit sehingga selama tiga tahun enam bulan tidak turun hujan. Akibatnya banyak orang lapar dan haus. Dengan bantuan Tuhan, ia dapat membangkitkan orang mati, mengurapi dan menurunkan para raja yang berkuasa. Nabi pun diurapi olehnya. Pada akhirnya dia diangkat ke surga dalam olak angin berapi dan kereta dengan kuda berapi. 

Bagaimana dengan Elisa? Tuhan juga mengetahui dirinya sehingga memilihnya sebagai nabi. Dia penuh dengan roh Elia. Elisa adalah seorang pemberani, tak pernah mundur ketika mengalami persoalan hidup. Para penguasa mana pun tak mampu menguasainya. Dikuburpun jenazahnya masih bernubuat. Sepanjang hidupnya ia membuat mujizat, dan malah ketika meninggal pekerjaannya menakjubkan (Sir 48:14). 

Tuhan Yesus melanjutkan penjelasan-Nya tentang Kotbah di bukit. Kali ini Yesus mengajarkan doa Bapa kami. Namun sebelumnya Ia mengingatkan para murid-Nya supaya jangan belaku seperti orang yang tidak nengenal Allah saat berdoa. Banyaknya kata-kata dan bertele-tele bukanlah jaminan bahwa itu doa yang baik di hadapan Tuhan. Alasan utama kita memiliki habitus baru dalam doa adalah ‘Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.’ (Mat 6:8). Kalau saja kita memiliki pemahaman bahwa Bapa mengetahui apa yang kita perlukan sebelum kita meminta kepada-Nya maka kita tidak akan berlaku seperti orang yang tidak mengenal-Nya. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa banyak kali kita justru memiliki habitus lama yakni berdoa seperti orang yang tidak mengenal Allah.

Doa Bapa kami merupakan doa yang Tuhan Yesus sendiri ajarkan kepada kita. Doa ini juga merupakan ringkasan dari seluruh Injil. Doa ini diawali dengan menyapa Allah sebagai "Bapa". Selanjutnya kita menyampaikan tujuh permohonan. Ada tiga permohonan dimaksudkan bagi "kepentingan Allah" dan empat permohonan dimaksudkan bagi "keperluan manusia". Untuk kepentingan Allah, dimohonkan agar nama-Nya dikuduskan, kerajaanNya datang, dan kehendak-Nya terjadi (Mat 6: 9-10). Sedangkan untuk keperluan manusia, dimohonkan agar diberi makanan secukup-nya, diampuni kesalahannya, jangan masukan manusia ke dalam pencobaan dan dilepaskan dari yang jahat (Mat 6: 11-13). Ketujuh permohonan ini menandakan bahwa Allah mengetahui segala yang kita mohonkan kepada-Nya.

Habitus baru dalam doa memungkinkan kita untuk tetap bersatu dengan Tuhan. Bukan banyaknya kata-kata yang kita sampaikan tetapi hati dan pikiran kita benar-benar tertuju kepada Tuhan. Doa adalah kasih karena kita melebur di dalam kasih Allah sendiri. 

PJ-SDB

1 comment: