Friday, June 19, 2020

Homili Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus 2020

HARI RAYA HATI YESUS YANG MAHAKUDUS
Ul. 7:6-11
Mzm. 103:1-2,3-4,6-7,8,10
1Yoh. 4:7-16
Mat. 11:25-30

Tuhan memilih dan mengasihi

Hari ini seluruh Gereja Katolik merayakan  Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus. Devosi kepada Hati Yesus Yang Mahakudus ini mulanya merupakan devosi dari para mistis Katolik di Jerman. Para mistis yang dimaksud adalah Matilde Magdeburgo (1207-1282), Matilde Hackenborn (1241-1299), Gertrude Helfta (1256-1302) dan Enrico Suso (1295-1366). Para mistis ini merasakan kasih Allah dalam diri Yesus Kristus secara pribadi. Devosi ini lebih berkembang lagi pada masa hidup St.Yohanes Eudes (1601-1680) dan semakin popular dengan adanya penampakan Tuhan Yesus kepada St. Margherita Maria Alacoque. Selanjutnya Claude La Colombiere (1641-1682) menyebarkan devosi kepada Hati Yesus Yang Mahakudus secara lebih luas. Paus Leo ke-XIII pernah mengeluarkan Ensiklik Annum Sacrum dan mengajak seluruh Gereja untuk berdevosi kepada Hati Yesus yang Mahakudus. Devosi ini sangat berhubungan dengan Pribadi Kristus sendiri. Secara liturgis, Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus berkembang di Prancis sekitar tahun 1672 dan menjadi popular dalam liturgi Gereja Katolik pada tahun 1856. Perayaannya terjadi pada hari Jumat setelah perayaan Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus seperti sekarang ini.

Hati dalam bahasa Yahudi disebut לֵב (lev) atau levav dan dalam Kitab Perjanjian Lama disebut sebanyak 860 kali. Dalam Kitab Suci berbahasa Yunani hati disebut καρδιά (kardiá) juga terdapat ribuan kali kata dan ekspresi tentang hati. Pada umumnya hati itu berhubungan dengan kehidupan afektif manusia. Maka ada ungkapan hati yang mencinta, murah hati dan baik hati. Apabila terjadi perubahan perilaku seseorang maka ia disebut sebagai pribadi yang keras hati, hatinya membatu, tidak punya hati, iri hati dan berhati emas. Jadi hati menjadi simbol hal-hal yang baik, dan bisa juga hal-hal yang buruk.  Kita mengetahui sebuah doa singkat populer: “Hati Yesus yang lemah lembut dan rendah hati” Yesus menghendaki agar hati kita menyerupai hatiNya. Ia sendiri pernah berkata: “Apapun dari luar yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya karena dari hatimu timbullah segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat” (Mat 15: 11. 19; Mrk  7:15).

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengingatkan kita tentang hati sebagai lambang kasih. Allah sangat mengasihi manusia dan menerima mereka apa adanya bukan ada apanya. Hal ini berbeda dengan manusia yang mengasihi dengan masih menghitung-hitung berapa yang sudah diberikan kepada Tuhan dan kepada sesamanya. Padahal Tuhan sendiri berkata: “Karena begitu besar kasih  Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya  kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16). Dia melakukannya bagi dunia sampai tuntas tanpa menghitung-hitung besarnya kasih kepada dunia. Mindset kita harus berubah untuk mengasihi dengan tulus hati, tanpa pamrih seperti Allah sendiri.

Umat Perjanjian Lama memiliki pengalaman kasih yang indah. Ketika mereka masih dalam perjalanan di padang gurun, Tuhan melalui Musa mengingatkan mereka: “Sebab engkaulah umat yang kudus bagi Tuhan, Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh Tuhan, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya.” (Ul 7:6). Tuhan yang pertama-tama memiliki inisiatif untuk memilih dan menentukan pilihan-Nya. Tuhan bebas memilih bangsa Israel tanpa memandang apakah bangsa Israel besar atau kecil. Ia bebas memilih semata-mata karena kasih. Musa berkata: “Tuhan mengasihi kamu dan memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyangmu, maka Tuhan telah membawa kamu keluar dengan tangan yang kuat dan menebus engkau dari rumah perbudakan, dari tangan Firaun, raja Mesir.” (Ul 7:8). 

Siapakah Tuhan Allah bagi umat Israel? Musa berusaha untuk menerangkan jati diri Allah sendiri bagi bangsanya karena mereka memiliki kecenderungan yang besar untuk menyembah berhala. Sebab itu Musa berkata: “Tuhan, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang setia, yang memegang perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang kasih kepada-Nya dan berpegang pada perintah-Nya, sampai kepada beribu-ribu keturunan.” (Ul 7: 9). Kesetiaan Tuhan haruslah dibalas dengan kesetiaan bukan dengan kejahatan. Kasih setia Tuhan tidak boleh dibalas dengan kebencian kepada-Nya. Kalau bangsa Isarel tidak setia dan membenci Tuhan maka mereka akan mendapatkan hukuman setimpal dengan perbuatan jahat mereka. Maka hal yang penting dilakukan bangsa Israel adalah berpegang pada perintah, yakni ketetapan dan peraturan dari Tuhan. Musa harus mengingatkan umat Israel berkali-kali karena mereka mudah melupakan kasih Tuhan yang berbelas kasih dan Maharahim.

Perkataan Musa dalam dunia Perjanjian Lama diperbaharui oleh Yohanes dalam suratnya yang pertama. Yohanes menunjukkan jati diri Allah sebagai kasih (1Yoh 4:8.16). Sebab itu setiap orang dipanggil untuk saling mengasihi karena kasih itu berasal dari Allah sendiri. Setiap orang yang mampu mengasihi berarti dia berasal dari Allah dan mengenal Allah. Orang yang tidak mampu mengasihi berarti dia tidak mengenal Allah. Mengapa demikian? Yohanes memberi alasan yang tepat yakni Allah adalah kasih. Kasih Allah sendiri menjadi nyata di dalam diri Yesus Anak Tunggal-Nya. Tuhan Yesus sang Anak tunggal Bapa berkata: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13). Maka apa yang harus kita lakukan? Yohanes berkata: “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1Yoh 3:18). Kasih adalah segalanya karena kasih adalah Allah sendiri.

Tuhan Yesus adalah tanda kasih Allah Bapa. Sebab itu Dia datang ke dunia untuk mengasihi sampai tuntas (Yoh 13:1). Kasih sampai tuntas terjadi dalam peristiwa Salib. Sungguh tepat perkataan ini: “In Cruce Salus” artinya pada salib ada keselamatan. Dalam prefasi hati Yesus yang didoakan para imam terdapat kata-kata doa seperti ini: “Sebab berkat kasih-Nya yang tak terhingga, Ia telah menyerahkan diri bagi kami ketika Ia ditinggikan di kayu salib. Lambung-Nya ditikam sengan tombak dan mengalir darah serta air yang melambangkan sakramen-sakramen Gereja. Oleh hati Penebus yang terbuka itu semua orang ditarik dan diundang menimba kegembiraan dari sumber keselamatan.” Dalam Prefasi Hati Yesus yang kedua terdapat kata-kata ini: “Engkau menanam daya cinta di dalam hati manusia, dan di manapun orang saling mencintai, Engkau menampakkan diri-Mu dalam mereka. Engkau mengasihi kami, manusia, lebih dari seorang ibu menyayangi anak kandungnya. Kasih sayang-Mu terhadap kami itu telah Engkau nyatakan dalam diri Yesus, Hamba-Mu yang setia, Saudara kami. Ia rela menanggung maut yang mengerikan guna menghidupkan dan membahagiakan kami.”

Tuhan Yesus yang satu dan sama telah memanggil kita untuk datang kepada-Nya. Dia sangat mengasihi kita dengan Hati-Nya yang Mahakudus karena kita semua letih dan lesu serta berbeban berat. Hanya kasih Yesuslah yang memberikan kelegaan kepada kita. Mengapa? Karena kita tidak berjalan sendirian. Kita berjalan bersama Dia sambal memikul kuk yang dipasang-Nya dan belajar selalu pada-Nya. Hanya Yesus saja yang lemah lembut dan rendah hati. Dengan demikian hati kita menjadi tenang dan tenteram. Sungguh, hati kita tenang ketika berada dekat dengan Yesus dalam doa. Milikilah hati Yesus yang penuh kasih, tinggalkanlah hatimu yang masih bernoda kebencian. Tuhan sendirilah yang memilih dan mengasihi kita maka marilah kita saling mengasihi dengan hati Tuhan sendiri. Hati-Nya yang lemah lembut dan rendah hati. Kita berdoa: “Hati Yesus yang lemah lembut dan rendah hati, jadikanlah hati kami seperti hati-Mu sendiri. Amen.”

PJ-SDB

1 comment: